Sabtu, 16 Juli 2011

Ikatan Teruna Swa Wandawa

Ikatan Teruna Swa Wandawa (disingkat Teruna) telah terbentuk tanggal 8 Januari 1961, jadi tidak berselang begitu lama dari kelahiran Pesikian Swa Wandawa Sembung Karangenjung pada tanggal 15 September 1957. Adapun proses kelahiran dan terbentuknya Teruna Swa Wandawa itu, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

Pada tanggal 8 Januari 1961, atas prakarsa I Gusti Ngurah Gede Merthanegara dan I Gusti Ngurah Rai Ardana, dengan mengambil tempat di Jero Gede Sembung, diadakan pertemuan seluruh teruna, putra dan putri dari anggota Swa Wandawa Sembung Karangenjung. Pada saat itu berkumpul sebanyak 29 (dua puluh sembilan) orang teruna teruni, dengan didampingi oleh 3 (tiga) orang Pengelingsir, yaitu: I Gusti Ketut Adhi, I Gusti Made Raka dan I Gusti Nyoman Cakra. Yang tidak hadir pada waktu itu tercatat hanya yang tinggal di luar daerah Bali, yaitu: I Gusti Nyoman Adiyasa, I Gusti Bagus Tirthayasa, I Gusti Gede Oka Wardana dan I Gusti Bagus Satriawangsa.

Dengan pembahasan yang cukup mendalam, para teruna teruni yang hadir, sepakat membentuk suatu organisasi dengan nama: Ikatan Teruna Swa Wandawa Sembung Karangenjung, dapat disingkat dengan Teruna. Pada pertemuan itu sekaligus juga dapat dirumuskan Anggaran Dasar, tentang tata cara pemilihan pengurus, tentang uang pangkal dan tentang yuran anggota.

Sebagai Pengurus Teruna untuk pertama kali, telah dapat dipilih dengan susunan pengurus sebagai berikut:

- Ketua : Ngurah Merthanegara

- Wakil Ketua : Ngurah Ardana

- Panitera : Raka Arsana

- Bendahara : I Gusti Ayu Raka

Seksi-Seksi:

- Olahraga : Puspanegara

- Kesenian : Rai Ariani

-Penerangan : Ngurah Merthanegara

- Pendidikan : Ngurah Ardana

Adapun tujuan dari Ikatan Teruna Swa Wandawa Sembung Karangenjung, dan telah tertuang pula di dalam anggaran dasar yang telah disepakati (pasal 3), yaitu:

  • Menjunjung tinggi martabat keluarga dan nama baik Swa Wandawa.
  • Mempererat rasa kekeluargaan di antara anggota dalam mempersiapkan diri untuk menjadi anggota Swa Wandawa yang baik dan berguna.
  • Menjadiakan diri sebagai badan yang hidup serta dinamis di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, telah diadakan program-program kerja yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, serta kemampuan dari para pengurusnya. Berbagai kegiatan telah diadakan sesuai dengan keperluannya seperti: olahraga, pertemuan-pertemuan, rekreasi, kerja bakti, mengikuti segala kegiatan dan upacara yang diselenggarakan oleh keluarga Swa Wandawa, termasuk mengumpulkan dana lewat menyelenggarakan kopon berhadiah setiap Hari Raya Galungan.

Semula jumlah anggota sebanyak 29 orang di Bali dan 4 orang di luar Bali, yang seluruhnya berjumlah 33 (tiga puluh tiga) orang, nampaknya angka ini sama dengan jumlah anggota Swa Wandawa untuk pertama kalinya dibentuk tanggal 15 September 1957.

Kepengurusan dari Teruna yang sifatnya merupakan pendidikan kader-kader, dengan tenggang waktu selama 2 tahun (empat galungan atau 4 x 210 hari), telah silih berganti dengan dimunculkannya muka-muka baru. (Lihat lampiran: 2.3. susunan pengurus Teruna sejak lahirnya sampai sekarang).

Lampiran: 2.3.

Kepengurusan Ikatan Teruna Swa Wandawa

Sembung - Karangenjung Sejak Berdiri Hingga Sekarang

I. Tahun 1961 – 1963

Ketua : I Gusti Ngurah Gede Merthanegara

Wakil Ketua : I Gusti Ngurah Rai Ardana

Sekretaris : I Gusti Gede Raka Arsana

II. Tahun 1963 – 1966

Ketua : I Gusti Gede Rai Udayana

III. Tahun 1966 – 1968

Ketua : I Gusti Bagus Puspanegara

IV. Tahun 1968-1970

Ketua : I Gusti Nyoman Raka Sudiarsa

V. Tahun 1970 – 1972

Ketua : I Gusti Gede Oka Adhita

Wakil Ketua : I Gusti Ngurah Supartha

Sekretaris : I Gusti Ngurah Kusuma

VI. Tahun 1972 - 1974

Ketua : I Gusti Ngurah Supartha

VII. Tahun 1974 - 1976

Ketua : I Gusti Bagus Krisnahari

Sekretaris : I Gusti Gede Rai Sudarsana

VIII. Tahun 1976 - 1978

Ketua : I Gusti Ngurah Suryanegara

Wakil Ketua : I Gusti Ngurah Sutama

Sekretaris : I Gusti Putu Suparsa

IX. Tahun 1978 - 1980

Ketua : I Gusti Bagus Adnyanegara

Wakil Ketua : I Gusti Ngurah Wijaya

Sekretaris : I Gusti Ayu Sri Utami Raka Wati

X. Tahun 1980 - 1983

Ketua : I Gusti Ngurah Wijaya

Wakil Ketua : I Gusti Ayu Sundari

Sekretaris : I Gusti Bagus Siladharma

XI. Tahun 1983 - 1985

Ketua : I Gusti Bagus Siladharma

Wakil Ketua : I Gusti Ngurah Wardana

Sekretaris : I Gusti Ayu Yuliadi

XII. Tahun 1985 - 1987

Ketua : I Gusti Ngurah Dharmayuda

Wakil Ketua : I Gusti Agung Adiyana

Sekretaris :I Gusti Agung Ayu Mirah Widiastiti

XIII. Tahun 1987 - 1989

Ketua : I Gusti Ayu Diah Anggraini

Wakil Ketua : I Gusti Gede Rai Yudiantara

Sekretaris : I Gusti Ayu Silawati

XIV. Tahun 1989 - 1991

Ketua : I Gusti Ayu Ketut Kartika Wulantari

XV. Tahun 1991 - 1994

Ketua : I Gusti Agung Ngurah Wisuda

Wakil Ketua : I Gusti Bgs. Widya Dharmaja

Sekretaris : I Gusti Agung Ayu Sri Andayani

XVI. & XVII. Tahun 1994 – 2000 :

Ketua : I Gusti Agung Adiyana

XVIII. Tahun 2000 - 2003

Ketua : I Gusti Agung Ayu Trisnawati

XIX. Tahun 2003 - 2006 :

Ketua : Anak Agung Gede Wira Ariputra



XX. Tahun 2006 - 2011
Ketua : I Gusti Agung Gede Gifta Pridana

Sebuah Perjalanan Panjang

Perkembangan Organisasi.

Pesikian Swa Wandawa Sembung Karangenjung yang berdiri tanggal 15 September 1957, telah mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah anggota yang semula terhimpun 33 kepala keluarga telah berkembang menjadi 106 kepala keluarga (berdasarkan data anggota dalam rapat anggota galungan tgl 6 Juli 2011). Telah dapat menampakkan jati dirinya dalam kehidupan yang rukun dan damai, di samping telah adanya peningkatan kesejahtraan pada masing-masing keluarga.

Di dalam perjalanan Swa Wandawa yang mendasarkan diri kepada kerukunan keluarga sebagai amanat di dalam awig-awig (peraturan dasar) yang telah ditetapkan, pada umumnya tidak banyak mengalami hambatan. Ketentuan-ketentuan di dalam awig-awig itu cukup sederhana dan lugas (fleksibel), sehingga penyesuaian-penyesuaian yang perlu diadakan karena adanya perkembangan dan situasi serta kondisi (desa-kala-patra) dapat dilakukan dengan baik, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan pokok awig-awig.

Kepengurusan Swa Wandawa mempunyai tenggang jabatan selama: “tigang galungan” atau 3 x 210 hari, telah dijalankan dengan baik, dan pada umumnya dipilih kembali. Hanya diadakan pergantian, mana kala ada yang mendahului kita (meninggal dunia). Seperti halnya kedudukan Wakil Pengelingsir (Wakil Ketua) I Gusti Gde Raka yang wafat pada tanggal 13 Desember 1972, digantikan oleh I Gusti Nyoman Raka (Pangliman/Komisaris Denpasar). Dan selanjutnya kedudukan Pangliman/Komisaris Denpasar diisi oleh anggota lainnya, yaitu I Gusti Ngurah Rai Ardana. Demikian juga setelah wafatnya I Gusti Ngurah Kaler Komisaris Kuwum-Nyelati, maka kedudukannya diganti oleh I Gusti Bagus Oka untuk Kuwum, dan I Gusti Made Raka untuk Nyelati.

Kemudian dengan wafatnya I Gusti Gede Oka Puger tanggal 10 Nopember 1977, untuk mengisi kekosongan sebagai pengelingsir (ketua), maka Wakil ketua I Gusti Nyoman Raka melakukan tugas secara otomatis sebagai pejabat ketua sampai dengan rapat pleno anggota pada hari raya galungan berikutnya.

Pada rapat pleno yang dimaksud telah dapat dipilih dan ditetapkan susunan pengurus Pesikian Swa Wandawa Sembung Karangenjung sebagai berikut:

Ketua : I Gusti Nyoman Raka

Wakil Ketua : I Gusti Ketut Adhi

Sekretaris I : I Gusti Ketut Bagus

Sekretaris II : Drs. I Gusti Bagus Arthanegara

Bendahara I : I Gusti Ketut Putera

Bendahara II : I Gusti Nyoman Karang

Komisaris-Komisaris:

Kuwum : I Gusti Bagus Oka

Nyelati : I Gusti Made Raka Rapeg

Karangenjung : I Gusti Made Ketug

Sembung : I Gusti Made Jelantik

Denpasar : I Gusti Ngurah Rai Ardana *)

Catatan:

*) Berhubung kepindahan I Gusti Ngurah Rai Ardana ke Propinsi Lampung, maka sebagai komisaris untuk Denpasar diisi oleh Drs. I Gusti Gede Rai Sudarsana.

Adapun hal-hal penting yang terjadi atau telah dapat diselesaikan oleh Pengurus Periode tahun 1957-1977 yang dapat dikumpulkan dan dicatat adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai kelengkapan Swa Wandawa telah dibentuk Perkumpulan Taruna-Taruni Swa Wandawa pada tanggal 8 Januari 1961, atas prakarsa I Gusti Ngurah Gede Merthanegara.
  2. Pada tanggal 24 Oktober 1961 telah diadakan upacara memendak para leluhur (Betara Betari) kita yang ndewata di Kengetan dan Katiklantang, dan kemudian distanakan (kelinggiang) di Merajan Agung Sembung dan Merajan Agung Karangenjung.
  3. Telah dapat dibentuk Usaha Dana Beasiswa melalui usaha kelapa pada tanggal 20 Maret 1963.
  4. Telah dipendak leluhur yang wafat di Uma Abian (Blayu) pada tanggal 14 April 1963.
  5. Telah dilaksanakan upacara ajar-ajar ke Pantai Sanur - Pura Dalem Puri - Pura Besakih pada tanggal 1 Juli 1970.
  6. Telah dapat disusun “Buku Sejarah Silsilah Keturunan Keluarga Swa Wandawa Sembung-Karangenjung” (Nopember 1976), dan telah pula dibagi-bagikan kepada para anggota pada ahir tahun 1976 (Buku Kuning).
Telah diadakan peringatan-peringatan HUT Swa Wandawa tiap tahun (15 September) di Denpasar, dan tiap lima tahun sekali secara agak besar di Jero Gede Karangenjung dan Jero Gede Sembung secara bergiliran.

Pidato pertama dihadapan para anggota oleh ketua I Gusti Gede Oka Puger

Inggih para Lingsir titiang sané baktining titiang, para semeton kalih alit-alit titiang sinamian sané ngerawuhin mangkin.

Sedurung ngawitin paruman puniki, pinih dumun titiang ngaturang “Om Swastiastu”.

Kelintang suksema kalih geng renan manah titiang, santukan para lingsir, para semeton, kalih alit-alité sami sampun ledang ngerawuhin pesamuan piniki, kadi pinunas titiang menggah ring surat. Satsat kadi ngecap Merta Kamendalu gardjitan manah titiang, polih kadi mangkin ketemu ring lingsir-lingsir kalih para kadang titiang sinamian. Inggih pinunas titiang ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kalih Ida Betara-Betarin Leluhur titiang sinamian, dumadak pesamuan puniki, sane ngawit mangkin kewentenan sedjeroning pesemetonan titiang, kelugerahan pengestu, sidha lantur tan kirang punapa-punapi, manakadian ipun radjeg, kukuh, tur ngawinang rapet miwah gilik pesikian pesemetonan puniki.

Inggih para Lingsir kalih para semeton titiang sinamian. Menawi wenten pikenoh ipun iriki titiang maridartajang akidik pari indike sane ngawinang pasikian puniki keadegang.

Titiang ndewek wantah sampun saking rihin pisan maderebe manah djagi ngewangun pasikian sadjeroning pasemetonane djumah, nanging kemad pisan titiang ngemedalang manah titiang punika. Punapi awinan ipun, menawi betjikan tan tjeritejang titiang iriki.

Wawu-wawu puniki, wenten pengidih ipun adin-adin titiangé kalih alit-alité adjak titiang ring Badung mangde ngewangun pesikian pesemetonan raga sane kantun tampek-tampek, minakadi ipun sane pelekadan ring umahe ring Sembung miwah Karangenjung, wiadin pebelasan-pebelasan saking umahe kekalih punika, metjepuk pisan kadi sane apti-apti titiang saking rihin, tur titiang njanggupin, misadija djagi ngutsahang kalih ngerantjang punapi sane perlu, sedjeroning kesidhan antuk titiang, seantukan punika wantah sane idamang titiang saking rumihin pisan.

“Punapi perlun ipun ngewangun pesikian kadi puniki?”.
Menawi wenten ta sané mepitaken asapunika; jadian tan kemedalang, menawi ring pekajun. Inggih para semeton titiang sami. Jan pinakang titiang kadi antjang wiadin lidiné: jan lidi punika asiki-asiki kawentenan ipun, djanten kirang pisan gunan kalih pikenoh ipun. Kaliha gampang pisan antuk anak ngelung-ngelung ipun, seantukan lidiné asiki-asiki punika tan wenten, miwah akidik pisan kekuatan ipun. Jadiastun makweh ipun asatus wiadin asiju jan tan ipun kesikiang wiadin kepesel, taler gampang antuk anake ngelung ipun. Nanging jan lidi punika kepesel, kesikiang, sinah ipun dados kwat pisan, kaliha ageng pikenoh ipun, minekadin ipun dados anggen sapu sane maguna pisan, jan iraga mekayun mebersih-bersih, mersihang sane daki miwah reged, mawinan sidha betjik. Inggih wantah kebersihan punika kelintang mautama, seantukan ring didja wenten kebersihan, minakadin ipun kebersihan pekarangan, umah, raga sarira miwah pekajunan, sinah pisan kerahadjengan sané patjang kepangguh. Malih jan ambilan titiang ring gambelan gongé. Jan asiki-asiki kawéntenan ipun keswarajang, sinah tan betjik kepireng swaran ipun. Indajang tjéng-tjéng ipun kewanten swarajang, miwah kempelin ipun kemawon, djanten tan amunapi mantuk ring pekajunan. Mangda sidha betjik, wantah mangda sami keswarajang, miturut pidartan gong. Napi malih jan sekehan ipun sampun mewasta duweg tur sering mepeurukan, djanten sekeha punika kepudji tur kasub. Sapunika taler pesikian para semetonan puniki. Jan asiki-asiki ngelaksanajang pekarjan kalih pekajunan, sinah pisan alit djaga hasil ipun, tur mangdoh patjang njidhajang ngewangun karja sané ageng. Indik puniki wantah sampun lumrah makwéh anaké uning, tur Pemerintah mangkin sampun miteket i rakjat, mangda seananing karja2 sané ageng miwah berat, kekarjanin “setjara gotong-rojong”, gugur gunung, saling tulung, jan bahat sareng2 tegen, jan ingan sareng2 tadtad sami mekidik. Jan ring bandjar kalih ring desa anaké njidhajang megotong-rojong, patut ipun napi malih sedjeroning pesemetonan tunggaling langit kalih leluhur. Manahang titiang “kalih dadosan” malih. Sotaning anak masemeton, wantah pautu pisan saling tulung sami asih, paras-paros. Sané maduwé lega ring sané latjur, mangdené sidha sami durus. Jan kemanah antuk titiang, tan wénten lwihan keutjap ring anak betjik kalih rukun mesemetonan. Seantukan kerukunan Ida Sang Pantja Pendawa mesemeton, sapa sira ugi tan njidajang ngerusak djagat idané, kalih ngawonang ida ring pejudan.

Jan upamijang titiang malih kadi i tangan; jan tangané sané kiwa njabunin ipun sané tengen, janten ipun makekalih patjang bersih, itjal dakin ipun. Aspunika taler anaké saling tulung. Jan anaké sami tiwas saling tulung, kedurusan ipun sami ipun maolih kabetjikan. Jan sampun pesikiané betjik kalih kuat, tan bina kadi djeridjiné, jan sampun gemelang dados asiki, njidajang patjang ngawonang meseh. Jan asiki2, amunapi pisan kekuatan djeridji punika! Menawi sinah antuk titiang ngupamiang ring adjeng kebetjikan ipun ngawentenang pesikian sané bulat, tur punapi awinan ipun iraga sarira patut pisan ngewentenang gotong-rojong kalih “kerdja sama”, bebawos kadi mangkiné, seantukan ipun punapi2 sané sidha kesikiang miwah kekumpulang, sinah pisan dados kwat, tur kekwatan punika wantah merupa kekuatan sané kelintang ageng gunan ipun.

Jadian upamin ipun wénten bata, apuh, bias, semén, taru, genténg, jan tan uning ngeratjik kalih nabdab kegunan ipun, djanten ipun tan mederebé pikenoh, malah2 ipun jan megenah ring pekarangané, patjang ngentuk-ngentukin, miwah ngotorin. Indajang mangkin undangang undagi, rerehang tukang, tan swé, sinah ipun merupa gedong sané makwéh gunan ipun, punapi malih jan undagin ipun peradnjan, kalih lakar2 punika betjik kehanan ipun djanten pisan gedong punika patjang luwih rupan ipun kalih kwat, kekasubang ring anaké siwosan.

Para Semeton sinamian, menawi kelintang doh titiang sampun mimpas saking atjara puniki. Nanging sané pidartajang titiang ring ajeng puniki, menawi wénten pikenoh ipun ring alit-alité sané durung tetes ring keperluan pesikian kalih persatuan puniki. Wénten kebawos kadi mangkiné: “Bersatu kita teguh, bertjerai kita runtuh”. Menawi sampun djelas teges lengkara punika. Jan iraga mesikian, djanten kukuh iraga sareng sami, jan iraga mabelas-belasan inggih punika sowang2 nganggowang pekajunan tan ngerunguang sané siosan, djanten pisan gampang antuka anaké ngaduk-ngaduk pesemetonané, tan pendah kadi djangkriké, wawu kekilin-kilinin, njak ipun djaga ngemademang njaman ipun. Jan sampun asapunika sinah sekadi ngowek2 wastera, njurjakin raga, wéké masih iraga pedidian. Jan titiang nguningajang ring adjeng: “mesikian iraga kwat”, menawi wénten sané mapikajun: “djani iraga suba ngelah perkumpulan njama, iraga suba kwat. Njeédja bani tekén iraga, lakar lawan dogen. Jén ja bani, njamané lakar adjak ngelawan”. Menawita wénten sané mapikajun kalih memanah asapunika, djanten pisan iwang tetapsiran.

Iraga sarira njikiang para semetoné mangda gilik tur kwat, tan pisan patjang mapekardi sané kawon ring anak, kalih ipun golongan lian. Jan wantah sidha antuk, ngiring mapekardi mangda sami anaké ledang kalih demen ring pesemetonan iraga sami, kalih ring para semeton sowang2. Dados ipun sané keulati kalih keaptiang, tandja mangda rukun sedjeroning semeton kalih kumpulan kewanten, nanging mangda marep ring sapasira ugi, sané ageng miwah alit, sugih miwah miskin, para semeton sami betjik2. Jan sampun sami anaké tresna-sih ring iraga sarira, sinah iraga sarira tan madwé meseh, mawinan ledang pisan pekajunané. Pemarginé sané asapunika taler membantu ngardinin kerahadjengan ring desa kalih Negara, sekadi sané keaptiang antuk Pemerintah.

Inggih amunika dumun pemahbah daging awig2 pesikian sané patjang kewangun mangkin, dumadak djelas tur sami keresep ring pekajunan. Rikalanin memawosin daging ketjap ipun malih djebos, malih djagi titiang mapiteges kalih ngupas maksud wijadin tudjuan ipun. Sedurunge titiang lali, ledangang titiang ngelanturang piteket malih akidik ring para semeton sami.

Sané dumun2, sedurung alit-alité para njama kalih pianak2 titiang, miturutin indeké kadi mangkiné, inggih punika meladjahang déwék, kangkat ipun duk sami pada setinut kéwanten ring pengandikan kalih pekajunan anak lingsir, sampun tjukup para lingsiré kéwanten mapaitja bebawos kalih pengelémék ring alit-alité sané mepemargi iwang kalih tan patut. Sané iwang punika djanten pisan patjang miturut pangandikan anaké lingsir, dening ipun wiakti tan purun piwal, seantukan kautjap peresangga miwah purun ring anak lingsir. Punika ketakutang pisan antuk alit-alité kalih para semeton daweg djaman punika. Naging kadi mangkin kalih munggah ipun, makuwéhan alit-alité sampun melajahang déwék djantos ring sekolah menengah miwah sekolah tinggi, dadosipun keuningan kalih sané panggih ipun sinah sampun lintangan ring sané lingsir-lingsir miwah sané kelihan. Dwaning asapunika sulit kalih kémad pisan lingsir2é djagi mapaitja bebawos kalih pangelémék, napi malih djagi ngiwangang pemargin ipun. Malih ipun, menawi taler sané sigug2 pisan tan njak miragiang bebawos anak lingsir, jan uningin ipun pengendikan anaké lingsir punika djaga ngiwangan ipun. Kalih ipun, sang keiwangan punika patjang sakit manah ring sané ngiwangan ipun punika. Punika awinan, seuning titiang lingsir2é mangkin arang pisan djagi kajun mapaitja pengelémék ring alit2é mawinan pekantenan ipun sekadi sami semetoné nganggoang2 raga, tan rungu2 ring sané lianan, jadian ipun mapekardi betjik miwah kawon. Indik punika perlu pisan kerobah mangkin; jan swé-swé banggiang asapunika, sinah pasemetonané patjang uwug, samberag meberarakan. Jan sampun djantos asapunika , tandja wénten pikenoh ipun iraga kewastanin mederebé njama, pateh kadi i buron ring alase, tan ngerengajang penjaman ipun, sakéwanten ngulahang déwék kemawon. Menawi bodjogé kari becikan, seantukan ipun kantun mekumpul-kumpul ngadjak soroh ipun, tur jan asiki keni baja, gelis ketulung antuk kadang ipun.

Sinah pisan djaga medaging sekadi sesonggané ring Bali “mati iba, idup kai”. Jan manahang titiang, tan pisan wénten semeton titiang sané meled djantos amunika kawon pesemetonan iraga iriki. Jan tindjo titiang saking penerawuh semetoné sami, kalih awanan pererain para semeton, djanten tan iwang titiang, jan titiang mastiang iriki para semeton sami kanten meled mangda betjik pesemetonan iraga puniki. Inggih titiang ngturang terima kasih pisan ring para semeton sinamian indik puniki. Dumadak pisan mangda sampunang titiang iwang peparnajan marep ring para semeton kalih alit2 sami. Sinah pisan antuk titiang para semeton tan kajun djagi tjedok ring daging perareman puniki. Menawi sampun kekajunang antuk Ida Leluhur2 iraga sami, mangda iraga sareng sami sidha gilik mesemetonan. Jan wenten sane tjedok, menawita patjang pastu Ida, mangda tan nemu kerahajon.

Kadi mangkin sesampune madeg pesikian pesemetonan puniki, tandja malih lingsir2é sané ketunasin pepatutan miwah keputusan, nanging pesikian puniki sejeroning paruman para anggotan ipun. Jan sampun iparuman mutusang, sapesira ugi dados ngerawuhang keputusan punika ring semetoné sané kemanggehang iwang punika. Jan tan ketampi sinah isemeton sami djagi ngarepin sang piwal punika. Dados ipun sane keiwangang punika kemesehin antuk sekuwub anggota pesikian punika, tandja antuk anggotan ipun ndiri2. menawita sane lingsir iwang, taler okane sane dados anggota, sareng ngiwangang ida. Wantah kepatutan punika tan ngitung pianak kalih rerama. Sane iwang patut keiwangang, sane patut wantah kepatutang.

Inggih amunika dumun; ngiring mangkin kawitin mawosin daging Awig-Awig kalih Sima-Sima Pesikian iraga punika.

Sedurung ipun, titiang ngewawanin malih ngastapejang ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kalih Betara-Betarin titiang, sidha kerahadjengan ugi sapemargin paruman puniki, kalih sidha sekadi sane keaptiang.

Swastiastu!

Begitulah pidato pertama sejak berdirinya Pesikian Swa Wandawa Sembung-Karangenjung, yang terjemahannya dalam bahasa indonesia sebagai berikut:

Para Pengelingsir yang sangat kami muliakan, saudara-saudaraku dan anak-anakku yang hadir pada hari ini.

Sebelum memulai pertemuan ini, izinkan saya menghaturkan : Om Swastiastu. Puji Syukur dan terimakasih serta sangatlah besar rasa bahagia saya, sebab para pengelingsir, saudara-saudara serta anak-anakku sudah berkenan menghadiri pertemuan ini, sesuai dengan permohonan saya dalam undangan.

Tak ubahnya bagaikan nikmatnya air suci Merta Kamandalu rasa bahagia saya dapat bertemu seperti sekarang ini dengan pengelingsir dan saudara-saudara. Saya memohon kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa dan para leluhur kita, semoga pertemuan ini yang mulai hari ini dilakukan di antara para keluarga kita mendapatkan anugrah-Nya, dapat berlanjut di masa yang akan datang tidak dan kurang suatu apa, mendapatkan keteguhan, kekuatan dan mampu mewujudkan keutuhan dan persatuan perkumpulan tali persaudaraan ini.

Para Pengelingsir dan saudara-saudaraku.

Mudah-mudahan ada manfaatnya di sini saya mengutarakan sedikit asal muasal mengapa perkumpulan keluarga ini perlu didirikan.

Saya pribadi sebenarnya sudah lama sekali mempunyai keinginan untuk mendirikan perkumpulan keluarga kita, namun saya harus menunggu waktu yang tepat untuk mengemukakan keinginan saya tersebut.

Mengapa hal itu terjadi? barang kali lebih baik tidak saya kemukakan di sini.

Baru-baru ini ada permintaan adik-adik saya dan anak-anak saya ajak di Denpasar untuk membangun perkumpulan keluarga kita yang masih ada hubungan keluarga dekat, seperti mereka yang lahir di puri kita di Sembung dan Karangjung ataupun mereka yang mempunyai asal muasal dari kedua puri tersebut. Dengan demikian bertemulah sudah harapan-harapan yang sudah sejak lama saya dambakan lalu saya menyanggupi, bersedia untuk mengusahakan serta merencanakan segala sesuatunya yang diperlukan yang mampu saya lakukan, karena itu memang menjadi dambaan saya sejak lama sekali.

"Apa perlunya kita membangun sebuah perkumpulan seperti ini ?" Barang kali ada di antara kita yang bertanya seperti itu, walau pun tidak diucapkan tetapi mungkin saja ada di benak kita.

Kalau boleh saya umpamakan bagaikan falsafah Lidi ; Kalau lidi tersebut berdiri sendiri, maka pastilah kurang manfaatnya. Di samping itu gampang sekali orang untuk mematah- matahkannya, karena lidi yang satu-satu itu keberadaanya dapat dipastikan kecil sekali kekuatannya. Sebaliknya walaupun jumlahnya seratus atau seribu lidi, tetapi kalau tidak disatukan dalam satu ikatan, maka lidi itu akan dengan mudah dapat dipatah-patahkan orang. Tetapi kalau lidi itu dikumpulkan dan diikat dalam satuan beberapa lidi, maka pastilah lidi itu akan menjadi kuat dan ada manfaatnya. Seperti misalnya dapat dijadikan sapu yang sangat bermanfaat apabila kita ingin berbersih, dapat menghilangkan kotoran sehingga semuanya menjadi apik. Sesungguhnya, kebersihan itu pula yang paling utama, karena dimanapun kebersihan itu dilaksanakan, seperti kebersihan pekarangan, rumah, diri sendiri ataupun pikiran, maka dipastikan kebahagiaan yang akan kita temukan.

Atau kalau saya ambilkan perumpamaan pada gambelan gong. Kalau gambelan gong itu masing-masing alat dibunyikan sendiri-sendiri tentulah tidak enak untuk didengar suaranya. Cobalah Ceng-ceng saja bunyikan, atau hanya Kempul saja yang dibunyikan, maka pastilah tidak akan begitu berkenan di hati untuk menikmatinya. Supaya menjadi enak didengar maka semua peralatan harus dibunyikan bersamaan sesuai dengan tugas dan fungsi alat tersebut masing-masing. Apalagi kalau perkumpulan sekeha gong itu sudah pintar dan rajin berlatih, maka tentulah perkumpulan sekeha itu akan dikagumi dan terkenal di seluruh jagat. Demikian juga halnya dengan perkumpulan keluarga kita ini. Kalau kita melaksanakan pekerjaan atau pun keinginan kita sendiri-sendiri tentu akan sangat kecil hasil yang kita peroleh dan jauh dari kemungkinan kita mampu melaksanakan pekerjaan yang besar. Tentang hal ini tentu sudah banyak orang mengetahuinya, dan sekarang ini pemerintah sudah mengingatkan rakyatnya agar segala pekerjaan-pekerjaan yang besar dan berat, dikerjakan dengan bergotong royong. gugur gunung. saling tolong menolong, yang berat dipikul bersama, yang ringan sama kita jinjing serba sedikit.

Kalau di banjar atau pun di desa orang-orang bisa bergotong royong, seyogyanya sebagai satu keluarga besar yang memiliki satu pemujaan dan satu leluhur harus kita mampu melakukannya. Menurut pikiran saya, malah dua kali lipat dosa orang mengingkari kenyataan ini. Menjadi kewajiban utama bagi orang yang bersaudara untuk saling tolong menolong saling mengasihi dan merasa sependeritaan sepenanggungan. Yang mempunyai lebih harus menolong mereka yang kekurangan, supaya sama-sama bisa jalan. Menurut pikiran saya, tidak ada yang lebih mulia ucapan orang kepada mereka yang baik-baik dan rukun bersaudara. Sebab kerukunan Panca Pandawa dalam persaudaraan pula yang tidak mampu membuat orang untuk merusak pemerintahan beliau ataupun mengalahkan beliau dalam peperangan.

Kalau saya umpamakan lagi ibarat tangan kita; jikalau tangan kita yang kiri membersihkan tangan kita yang kanan, maka dapat dipastikan keduanya akan bersih, hilang semua kotoran. Demikian juga dengan orang yang suka saling menolong. Kalau mereka yang kekurangan itu mau saling tolong menolong, maka mereka semua akan memperoleh kebajikan. Kalau sudah perkumpulan baik dan kuat, tak ubahnya sebagai jemari kita ini, kalau sudah dikepalkan menjadi satu maka kita akan mampu menyingkirkan musuh-musuh kita. Kalau sendiri sendiri seberapalah kekuatan jemari kita itu. Mudah-mudahan jelas oleh saya untuk mengemukakan di depan pentingnya arti sebuah perkumpulan yang utuh dan mengapa kita masing-masing perlu melakukan gotong royong atau pun kerja sama seperti sering diucapkan seperti sekarang ini. Sebabnya tiada lain adalah apapun kalau sudah mampu kita satukan dan satukan, pastilah akan menjadi kuat dan kekuatan itu akan merupakan kekuasaan yang sangat besar manfaatnya.

Kalau saya umpamakan keberadaan bata, kapur, pasir, semen, genteng, kalau kita tidak mampu mengolah dan mengerti akan kegunaannya, pastilah dia tidak akan bermanfaat. Jangan-jangan kalau kita taruh di halaman rumah akan merusak pemandangan atau mengotori rumah saja. Cobalah sekarang kita undang seorang ahli bangunan, dicarikan tukang, maka tidak lama kemudian pastilah akan lahir sebuah gedung yang banyak gunanya. Apalagi kalau ditangani oleh para ahli dan bahan-bahan itu kualitasnya baik. maka pastilah gedung itu akan sangat indah dan kuat serta dikagumi oleh mereka yang melihat.

Saudara-saudaraku sekian.

Barang kali terlalu jauh saya menyimpang dari acara semula. Tetapi apa yang telah saya wacanakan di depan. barangkali ada manfaatnya terutama sekali untuk anak-anak kita yang belum mengerti benar akan perlunya perkumpulan ataupun persatuan itu. Seperti banyak diucapkan orang sekarang ini ; "Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh" saya yakin sudah jelas arti motto itu bagi kita semuanya. Kalau kita bersatu. pastilah kokoh kita semuanya. Sebaliknya kalau kita bercerai berai masing-masing melaksanakan keinginannya sendiri-sendiri tidak mau mendengar yang lainnya, pastilah gampang orang luar mengacau tali persaudaraan kita. Tak bedanya seekor jangkrik. baru dihasut sedikit saja sudah rela membunuh saudaranya sendiri.

Kalau saya di depan ada mengatakan : "Bersatu Kita Kuat", barang kali lantas ada yang berfikiran : "Sekarang kita sudah punya perkumpulan keluarga, berarti kita sudah kuat". Siapa saja berani dengan kita akan kita lawan saja. "Siapa saja yang berani, saudara-saudara kita akan kita ajak melawannya".

Saya yakin tidak ada di antara kita yang punya pikiran seperti itu. Pikiran seperti itu jelas akibat salah penafsiran. Kita semua menyatukan keluarga kita semata-mata karena kita ingin rukun dan kuat, jauh dari pemikiran akan berbuat tidak baik pada orang lain ataupun golongan lain.

Kalau mampu kita melakukannya, marilah kita berbuat supaya semua orang senang dan bersimpati kepada tali persaudaraan kita semua dan persatuan kita masing-masing. Dengan demikian yang menjadi dambaan dan harapan kita semua, tidak saja kerukunan persaudaraan atau pun perkumpulan secara interen semata- mata, tetapi juga terhadap siapa saja yang besar maupun yang kecil, kaya ataupun miskin, kita semuanya harus berbuat yang baik. Kalau sudah semua orang cinta dan senang kepada diri kita. maka kita akan dijauhkan dari musuh karena kita memang mempunyai pikiran yang jernih. Perbuatan seperti itu juga akan membantu kita menciptakan kedamaian di desa ataupun negara seperti harapan pemerintah.

Demikianlah sebagai pembuka penjelasan mengenai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perkumpulan pasemetonan yang akan kita dirikan sekarang, mudah-mudahan jelas dan semua dapat mengerti dalam diri masing-masing.

Pada saat membicarakan isi pasal-pasal sebentar lagi, lagi saya akan perjelas dan kupas maksud ataupun tujuannya.

Sebelum saya lupa, izinkan saya melanjutkan menyampaikan pesan-pesan lagi sedikit kepada saudara-saudara saya sekalian.

Dimasa lalu, sebelum adik-adik, saudara-saudara saya ataupun anak-anakku mengikuti keadaan zaman seperti sekarang ini, yaitu belajar menimba ilmu, semuanya manut saja kepada ucapan atau pun keinginan orang tua. Sudah cukup para orang tua saja yang memberi petunjuk ataupun nasehat kepada anak-anaknya, baik yang berbuat salah atau tidak benar.

Mereka yang berbuat salah sudah barang tentu akan mengikuti para orang tua karena mereka tidak ingin membangkang karena takut dikatakan sebagai anak durhaka atau berani kepada orang tua. Hal seperti ini memang sangat ditakuti oleh anak-anak atau saudara-saudara kita pada masanya. Tetapi sekarang ini dan di masa yang akan datang banyak anak-anak kita yang sudah membelajarkan diri sampai sekolah menengah ataupun sekolah tinggi, sehingga pengetahuan mereka ataupun pengalamannya sudah melebihi para orang tua ataupun yang lebih tua dari mereka. Karenanya sulit dan rikuh sekali para orang tua akan memberikan nasehat ataupun teguran, apalagi akan menyalahkan tingkah laku mereka. Lagi pula, barang kali juga mereka yang memang bandel-bandel tidak akan pernah mau mendengar ucapan para orang tua yang diketahuinya ucapan orang tua itu akan menyalahkan perbuatannya. Di samping itu mereka yang disalahkan akan sakit hati kepada yang menyalahkan dirinya itu. Itu lah sebabnya sepengetahuan saya para orang tua kita jarang sekali yang mau memberikan teguran kepada anak-anak kita sehingga kelihatan mereka sebagai tanpa kendali, tidak perduli kepada yang lain walaupun jelas-jelas berbuat tidak baik dan tercela. Tentang hal ini, perlu sekali adanya perubahan sikap mulai sekarang ini. Kalau keadaan seperti ini dibiarkan berlama-lama, pastilah tali persaudaraan kita akan menjadi rusak dan hancur lebur.

Kalau sampai demikian, maka tak akan ada gunanya kita mempunyai saudara, tak ubahnya seperti binatang di tengah hutan tidak perduli dengan saudara-saudaranya sendiri, hanya menghidupi dirinya sendiri. Barang kali monyet saja masih lebih baik, karena mereka masih ngumpul-ngumpul dengan sesamanya dan kalau ada seekor kera yang menghadapi bahaya, segera ditolong oleh sesamanya.

Kelihatan sekali akan berisi ucapan-ucapan di Bali "Matilah kau, yang penting aku tetap hidup". Menurut pikiran saya, sama sekali tidak ada keinginan saudara-saudara saya akan mempunyai harapan separah itu terhadap keberadaan perkumpulan persaudaraan kita ini. Kalau saya tinjau dari kehadiran saudara-saudara sekalian serta roman muka saudara-saudara semuanya, pastilah saya tidak keliru kalau saya memastikan saudara-saudara sekalian selalu berharap supaya tali persaudaraan kita ini tetap berjalan dengan baik.

Selanjutnya saya menyampaikan terima kasih banyak kepada saudara-saudara saya untuk semuanya ini, mudah-mudahan saja saya tidak keliru menyampaikan harapan-harapan ini kehadapan saudara-saudara dan anak-anakku sekalian. Sangat saya yakini saudara-saudara sekalian tidak ingin akan mengingkari dengan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ini.

Barang kali sudah menjadi kehendak para leluhur kita semua, supaya kita semua bisa rukun dalam persaudaraan. Kalau ada yang ingkar barangkali akan dihukum oleh beliau dan tidak menemukan kebaikan.

Seperti sekarang ini, sesudahnya perkumpulan ini berdiri, tidak lagi hanya para orang tua yang kita mintai kebenaran atau keputusan, tapi organisasi ini melalui rapat para anggotanya. Kalau rapat sudah mengambil keputusan, siapapun boleh menyampaikan keputusan itu kepada anggota keluarga yang melakukan kesalahan itu. Kalau tidak diterima, maka semua keluarga akan menghadapi mereka yang salah itu. Jadinya yang berbuat salah itu akan berhadapan dengan seluruh anggota perkumpulan dan bukan dengan anggota itu masing-masing.

Mungkin saja si orang tua yang bebuat salah, maka anaknya yang jadi anggota akan ikut menyalahkan beliau. Memang demikianlah seharusnya tidak melihat anak atau orang tua yang salah patut disalahkan, yang benar patut pula dibenarkan.

Sekian dulu, mari sekarang mulai membicarakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ini. Sebelumnya sekali lagi kita memohon kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Tuhan Yang Maha Esa dan para Leluhur kita, mudah-mudahan pertemuan ini berjalan dengan baik dan menemukan kesuksesan selama berjalannya sidang-sidang dan mendapatkan hasilnya sesuai dengan harapan kita semua.

Om Santhi. Santhi, Santhi Om.

Rabu, 13 Juli 2011

KELAHIRAN SWA WANDAWA



II. KELAHIRAN SWA WANDAWA

2. 1 Detik – Detik Bersejarah

Sebelum sampai kepada kelahiran Swa Wandawa Sembung Karangenjung ada baiknya diungkapkan disini alur keberadaan “para pelarian” yang bercerai berai sebagai akibat hancurnya Kengetan, terutama sekali mereka yang berada di Sembung, Karangenjung, Kuwum dan Nyelati. Menurut Sejarah silsilah keturunan keluarga Swa Wandawa Sembung Karangenjung, maka dikisahkan keadaan keturunan I Gusti Agung Ayu Suci – I Gusti Agung Wayahan Dawan Pasca hancurnya Kengetan sebagai berikut :

“I Gusti Agung Nyoman Sengguan yang berstana di Puri Karangenjung, mempunyai istri dua orang, yaitu I Gusti Ayu Raka (memiliki dua orang anak, masing-masing bernama I Gusti Agung Putu Karang dan adiknya yang bernama I Gusti Agung Gede Rai. Siluh Made Rai berasal dari Desa Sobangan dan memiliki seorang putra bernama I Gusti Agung Nyoman Tanjal.

Sekarang tersebutlah pula I Gusti Ketut Adi yang bersemayam di Desa Sembung; beliau menurunkan I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, I Gusti Agung Ayu Raka dan I Gusti Agung Ayu Nyoman Rai.

Adapun I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, setelah dewasa diangkat menjadi Manca Sembung-Kerangjung oleh Sri Baginda Raja Menguraja dengan pembantu-pembantunya I Gusti Agung Putu Karang dan I Gusti Agung Gde Rai di Karangenjung.

Sekarang disebutkan isteri-isterinya I Gusti Agung Putu Gde Kengetan yang sama-sama sudah mengadakan putera-putera mereka masing-masing adalah :

Sayu Putu Mugelik dari Jero Tambangan Sibang Shrijati berputera I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, I Gusti Agung Ngurah Gde Geriya, I Gusti Agung Rai Anom dan I Gusti Agung Ayu Ketut Rai. Ni Jero Siulan dari Banjar Belangpande Sembung melahirkan I Gusti Agung Putu Oka. Ni Jero Jasa dari Banjar Pasekan Sembung, melahirkan I Gusti Agung Nyoman Kuta, dan sebelumnya sudah mengangkat seorang putera bernama I Gusti Agung Made Gerya, Putera dari I Gusti Agung Gde Rai di Karangenjung.

Adapun I Gusti Agung Ngurah Gde Griya diangkat anak oleh I Gusti Agung Ayu Rai bibi beliau yang sampai tua tidak mau bersuami; karena dikecewakan oleh pacar beliau dari Banjar Semu.

Sekarang marilah beralih menceritakan keturunan I Gusti Agung Nyoman Sengguan di Karangjung.

I Gusti Agung Putu Karang tetap bermukim di Karangenjung. Beliau beristeri tiga orang yaitu : I Gusti Ayu Dalem, yang berputera seorang, bernama I Gusti Agung Putu Dalem, I Gusti Ayu Nyoman Rai, yang tidak berputera.

Ni Jero Dauh, yang berputera I Gusti Agung Nyoman Sengguan dan I Gusti Agung Ayu Ketut Rapang. Adapaun I Gusti Agung Gde Rai beralih tampat ke desa Kuwum, yang atas usaha beliau dibangun kembali setelah menjadi hutan lebat, karena ditinggalkan oleh para penghuninya, tidak diketahui karena apa. Beliau beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Ketut Adi di Sembung, yang melahirkan putera : I Gusti Agung Ayu Raka, I Gusti Agung Ayu Rai, I Gusti Agung Gde Jelantik dan I Gusti Agung Rai Jelantik.

Ni Jero Pudak dari Banjar Belangpande Sembung berputera I Gusti Agung Made Kaler, I Gusti Agung Nyoman Kaler. Adapun I Gusti Agung Made Geriya diangkat anak oleh I Gusti Agung Putu Kengetan bersama istrinya Ni Jero Jasa.

Selanjutnya beliau beristerikan Jero Jempiring, Jero Sandat dan Jero Gambir, tetapi mereka ini tidak berputera.

Adapun I Gusti Agung Nyoman Tanjal beristeri Sayu Biang Ngurah, yang berputera seorang, bernama I Gusti Agung Putu Kerebek, yang mengalih bertempat tinggal disuatu Tegalan di Karangjung, disebut Jero Tegal Sari, Beliau beristerikan Gusti Ayu Putu Suberet, tetapi tidak berputera.

Kemudian beliau mengangkat seorang anak perempuan, bernama I Gusti Agung Ayu Ngurah, puteri dari I Gusti Agung Rai Jelantik, dalam perkawinan beliau kedua-kalinya dengan I Gusti Ayu Ketut Rai, ibu anak itu, dan adik dari I Gusti Ayu Putu Suberet.

Disini dapat diceriterakan amanat dari Sri Baginda Raja Mangaraja terakhir kepada I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, I Gusti Agung Putu Karang dan I Gusti Agung Gde Rai pada waktu malam hari sebelum Kerajaan Mangaraja dikuasai oleh tentera Kerajaan Badung ditahun l892. Pada malam tersebut menghadaplah I Gusti Agung Putu Gde Kengetan, I Gusti Agung Putu Karang dan I Gusti Agung Gde Rai kepada Sri Baginda Raja, disertai oleh putera-putera beliau, yaitu I Gusti Agung Putu Dalem dan I Gusti Agung Gde Jelantik dan sepasukan perajurit dari Sembung, Karangenjung dan Kuwum, dengan maksud untuk menyatakan setia bakti kepada Raja, dan memohon perkenan beliau agar beliau-beliau tersebut diikut sertakan besok harinya bersama-sama Raja menghadapi musuh dimedan peperangan yang sudah makin mendekat, yaitu di sebelah barat desa Mengwitani. Tetapi apa sabda Baginda Raja yang gagah perkasa dan budiman itu? " Anak-anakku bertiga serta cucuku dan pasukan dari Sembung Karangjung dau Kuwum" demikian titah Raja dengan terharu, tetapi tegas. " Bapamu ini tidak meragukan sama sekali kesetiaan anak-anakku sekalian dan rakyat di sana kepada kerajaan serta kepada diri dan keluarga Bapa pribadi. Begitupun tentang keperwiraan dan keberanian anak-anakku untuk berperang mebela Raja dan Negara yang kini dalam bahaya.

Tentang hal itu Bapa menaruh kepercayaan dan keyakinan yang penuh " tetapi " begitu Raja melanjutkan, "putera-putraku harus tahu, bahwa anda sekalian telah Ramanda serahi tugas yang telah kutentukan, yaitu membela dan mempertahankan perbatasan Kerajaan disebelah utara, bila diserang oleh musuh kita, yakni Negara Tabanan yang bersekutu dengan Badung dalam memerangi Kerajaan Bapa ini. Alangkah aib dan nistaku kalau sampai Bapa diserang oleh seteru dari punggungku, sementara kita menghadapi musuh dimedan Selatan, yaitu tentera Tabanan memasuki ibu kota Kerajaan dan Utara yang tidak dijaga, atau kurang cukup penjagaannya. Anak-anakku sekalian, percayalah dan ketahuilah, bahwa Ramandamu ini tidak kurang budi kesatriya dan keperwiraannya dalam menghadapi lawan di medan bakti, di mana sekalipun. Ramanda tidak mengijinkan anak-anakku menyertai Ramanda besok pagi kemedan Mengwitani.

Cukup Ramanda saja bersama-sama pengikut-pengikutku yang masih setia menghadapi musuhku, walaupun Ramanda sudah merasa, harapan untuk mengalahkan mereka tidak ada. Pulanglah anak-anakku bertiga serta pengiring pengiringmu dengan segera, dan lakukan tugas yang menjadi kewajiban anda dengan sebaik-baiknya. Bersana ini do'a restuku untuk anak-anakku sekalian dan rakyat di sana seluruhnya.

Oleh karena perintah yang tegas itu dari Raja, tidak ada jalan lain bagi beliau-beliau bertiga itu, kecuali memohon diri dengan puja pengayu-bahagia kepada Sri Baginda semoga Beliau dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa serta para Betara-Betari dan Leluhur sekalian dalam Beliau esok harinya menghadapi seteru dimedan bakti.

Setelah Raja Mengwi terakhir itu gugur dimedan perang di desa Dakdakan, di sebelah barat desa Mengwitani, serta jenazah Beliau diangkut oleh pasukan Raja Badung ke Denpasar, dan dibaringkan pada suatu balairung-darurat dibagian utara dari kuburan desa Badung, dan seluruh Kerajaan Mengwi ditaklukkan, maka anggota-anggota keluarga puri Sembung Karangenjung dan Kuwumlah diberi tugas oleh Raja Pemecutan untuk "ngemit" jenazah itu selama persiapan upacara pengabenan secara besar-besaran dilakukan. Dan waktu hari pengabenan tiba, dan ketika keluarga Raja Mengwi diberi kesempatan untuk menyembahyangi jenazah Raja sebagaimana mestinya, maka putera Raja yang sulung, Anak Agung Made Agung, yang selama itu ditahan di Puri Sunia-Negara di Denpasar, dan dalam hati masih bimbang, apakah benar-benar jenazah ayah beliau yang akan disembah itu, bertanya secara "singit" kepada I Gusti Agung Gde Jelantik, selaku wakil keluarga Sembung Karangenjung. "Hai anakku Gde,, apakah benar itu jenazah ayahku Raja, dan apakah tidak mungkin jenazah – jenazah orang lain ? Karena anakkulah sekeluarga menjaga dan mengawasi jenazah itu selama ini, dan Bapa hanya percaya kepada kesaksian anakku belaka. I Gusti Agung Gde Jelantik menjawab: “Tuanku, memang benarlah ini jenazah almarhum Ayah Tuanku Betara Dirana, karena hambalah yang memandikan dan membukus jenazah itu. Dan jelas benar hamba mengenal bahwa itu adalah jenazah Betara Dirana dan bukan dari orang lain, karena keadaannya masih utuh benar, dan tidak ada cacatnya sedikitpun, bahkan luka-lukanya masih berdarah merah, se-olah-olah gugur Beliau baru saja terjadi, sedangkan wafat Beliau sudah ber-bulan-bulan yang lalu. Hamba sendiripun amat heran melihat jenazah itu, laksana orang tidur saja”.

Baru atas keterangan di atas itu Anak Agung Made Agung bersedia menyembah jenazah itu.

Baik juga diceriterakan disini, bahwa setelah Anak Agung Made Agung, yang berhak menggantikan Raja Mengwi itu, dilarikan secara diam-diam oleh duta Ubud, atau perintah Cokorda Gde Sukawati di Ubud, dan oleh karena itu beberapa daerah bekas kerajaan Mengwi mengangkat senjata lagi terhadap Kerajaan Badung. Keluarga puri Sembung, Karangenjung, Nyelati, Kuwum, beserta rakyat di sana, turut dalam pemberontakan, tetapi amat malang, berselang tidak berapa lama, pemberontakan itu dapat ditindas oleh Pasukan Badung dan Tabanan. Dan kembalilah seluruh bekas Kerajaan Mengwi dikuasai oleh Badung dan Tabanan, sedangkan beberapa daerah di bagian utara, termasuk Sembung Karangenjung Kuwun, Nyelati, untuk beberapa lama dikuasai oleh Raja Tabanan, dan para petugas di sana ditawan di Tabanan sebagai sandera (tahanan).

Tetapi karena Raja Pemecutan, yang telah amat akrab dengan keluarga puri-puri Sembung; Karangenjung; Kuwum; Nyelati, akhirnya kembalilah daerah-daerah itu dibawah kekuasaan Badung, jelasnya Raja Pemecutan.

Sekarang marilah ditinjau keturunan I Gusti Agung Made Jelantik yang mengalih ke Banjar Samu Lambing; beliau mengadakan putera, bernama I Gusti Agung Made Jelantik, I Gusti Agung Nyoman Semita, I Gusti Agung Ketut Rai dan I Gusti Agung Ketut Raka Pasek.

I Gusti Agung Made Jelantik berputera tiga orang bernama I Gusti Agung Made Jelantik, I Gusti Agung Nyoman Mundeh dan I Gusti Agung Putu Manggis.

I Gusti Agung Nyoman Semita berputera tiga orang, masing-masing bernama I Gusti Agung Putu Mendo, I Gusti Agung Made Gerembeng dan I Gusti Agung Made Jelantik.

Adapun I Gusti Agung Ketut Rai berputera seorang, bernama I Gusti Agung Nyoman Belongkoran.

Syahdan I Gusti Agung Ketut Raka Pasek berputera dua orang, masing-masing bernama I Gusti Agung Nyoman Rai dan I Gusti Agung Made Gonjong.

Sekarang kembali diceriterakan keturunan I Gusti Agung Putu Gde Kengetan di Puri Sembung.

Adapun I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata beristerikan I Gusti Agung Ayu Alit Sasih, puteri dari I Gusti Agung Gde Rai di Sibang Shrijati, yang tidak melahirkan putera. Setelah beberapa tahun bersuami isteri, maka I Gusti Agung Ayu Alit Sasih meninggalkan suaminya dan kemudian kawin lagi ke puri Kapal Muncan.

Isteri-isteri I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata selanjutnya adalah Ni Jero Made Nerida, bangsa Bendesa dari Desa Sembung-Sobangan, Ni Jero Made Patera., bangsa Pasek anak Pan Ciria dari Banjar Pasekan Sembung, tetapi kedua-duanya ini tidak melahirkan anak.

Lagi beliau mengambil isteri bernama I Gusti Agung Ayu Putu Sentak, puteri dari I Gusti Agung Ngurah Jelantik dari puri Tanggayuda di Bongkasa, yang melahirkan putera tiga orang, yaitu I Gusti Agung Ayu Oka, I Gusti Agung Gede Raka Arsana, dan I Gusti Agung Ngurah Ardhana.

1. Sebelum lahirnya ketiga puteranya tersebut, I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata juga mengangkat dua orang putera, yaitu I Gusti Agung Made Rai, putera dari I Gusti Agung Putu Oka, dan I Gusti Agung Ketut Putera putera dari I Gusti Agung Made Geriya.

2. Dalam hidupnya I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, baliau pernah menjabat kedudukan sebagai Perbekel Sembung dalam masa Penjajahan Belanda selama kurang lebih dua puluh lima tahun.

3. Dalam mengadakan pinjaman kepada Kantor VokVolks-Crediet-Bank, beliau tidak dapat melunasi hutangnya itu, berhubung timbulnya melaisse perekonomian dalam tahun 1931. Oleh karena itu maka harta benda beliau dan harta orang-orang yang menjadi jaminan beliau, dibeslag dan dijual lelang oleh Bank tersebut. Beliau wafat dalam tahun 1942.

4. Adapun I Gusti Agung Oka beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Putu Mendo di Banjar Samu Lambing, yang melahirkan dua orang putera, yaitu I Gusti Agung Ayu Alit dan I Gusti Agung Made Rai. Setelah I Gusti Agung Putu Oka beserta isteri beliau wafat, maka puteri beliau I Gusti Agung Ayu Alit diangkat anak oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha, dan I Gusti Agung Made Rai oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, sebelum isteri beliau tadi melahirkan anak.

I Gusti Agung Made Geriya beristerikan Jero Kemuda dari Banjar Tahunan Sembung, yang berputera seorang, tetapi meninggal dunia waktu masih bayi. Selanjutnya beliau mengambil isteri kedua, bernama I Gusti Ayu Ketut Diblug, anak dari I Gusti Kompiang dari Banjar Dajan Peken, yang melahirkan putera-putera I Gusti Agung Ayu Raka Kereped, I Gusti Agung Nyoman Raka, I Gusti Agung Ketut Putera, I Gusti Agung Ayu Manik dan I Gusti Agung Made Jelantik Susila, B.E.

Dalam hidupnya I Gusti Agung Made Geriya pernah menjabat tugas sebagai Pekaseh Subak Cangi, selama kurang lebih tiga puluh tahun di masa penjajahan Belanda, yaitu menggantikan I Gusti Agung Gde Jelantik di Nyelati.

I Gusti Agung Ngurah Gde Geriya beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka Jigereg, puteri dari I Gusti Agung Made Oka di Puri Karangjung, yang melahirkan seorang putera perempuan, yang meninggal dunia waktu baru dilahirkan. Selanjutnya beliau beristerikan seorang puteri Brahmana dari Desa Beha, bernama Ida Ayu Made Cenol, yang berputera I Gusti Agung Ayu Raka, I Gusti Agung Made Gde, I Gusti Agung Ayu Nyoman Adi, I Gusti Agung Ayu Galuh dan I Gusti Agung Ayu Rai.

Adapun I Gusti Agung Nyoman Kutha beristerikan I Gusti Agung Nyoman Gu, puteri dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati. Beliau mengangkat anak I Gusti Agung Ayu Alit, puteri dari I Gusti Agung Putu Oka, sebab sudah beberapa kali isteri beliau I Gusti Agung Ayu Nyoman Gu melahirkan puteri, tetapi selalu meninggal dunia, baik waktu sudah lahir, maupun semasih dalam kandungan (gugur). Setelah mengangkat anak I Gusti Agung Ayu Alit, baru satu-satunya putera beliau lahir dengan selamat ke dunia dan diberi nama I Gusti Agung Made Jelantik.

I Gusti Agung Ayu Rai Anom diambil isteri oleh I Gusti Agung Putu Rai Jelantik putera dari I Gusti Agung Gde Rai di Kuwum.

I Gusti Agung Ayu Ketut Rai diambil isteri oleh I Gusti Agung Gde Tanggayuda dari puri Tanggayuda di Bongkase. Setelah suami beliau wafat, maka I Gusti Agung Ayu Ketut Rai kembali kepada keluarga beliau di Sembung.

Ceriterakan sekarang keturunan I Gusti Agung Putu Karang di puri Kerangjung.

1. I Gusti Agung Putu Dalem beristerikan I Gusti Agung Ayu Raka puteri dari I Gusti Agung Gde Rai di Kuwum dan mendapat putera laki-laki empat orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Made Oka. Adik-adiknya bernama I Gusti Agung Rai Jelantik, I Gusti Agung Putu Gde dan I Gusti Agung Made Putu.

2. I Gusti Agung Nyoman Sengguan beristeri tiga orang :

a. I Gusti Agung Ayu Ngurah, puteri dari I Gusti Agung Gde Rai di Kuwum, yang melahirkan I Gusti Agung Ngurah Karud dan I Gusti Agung Made Alit.

b. Ni Gusti Putu Kencan, bangsa Wesya dari desa Jukutpaku Gianyar berputera I Gusti Agung Ayu Putu Gerudug, I Gusti Agung Made Cuk, I Gusti Agung Rai Cek dan I Gusti Agung Ketut Cok.

Ni Jero Selaga, bangsa Sengguhu dari desa Umaabiyan – Belayu, mempunyai seorang puteri bernama I Gusti Agung Ayu Nyoman Ricik.

Selanjutnya marilah diceritakan putera puterinya I Gusti Agung Gde Rai di Puri Kuwum.

I Gusti Agung Ayu Raka diperisterikan oleh I Gusti Agung Putu Dalem di puri Karangjung.

I Gusti Agung Ayu Ngurah diambil istri oleh I Gusti Agung Nyoman Sengguan di puri Karangjung.

I Gusti Agung Gde Jelantik mencari tempat tinggal di alas (hutan) Nyelati, yang beliau bangun menjadi suatu desa, waktu beliau sedang remaja, di bawah bimbingan ayah beliau I Gusti Agung Gde Rai.

Beliau beristeri empat orang, yaitu Ni Jero Laja dari banjar Balangpande Sembung, yang berputera :

I Gusti Agung Ayu Gerodong, I Gusti Agung Made Jago dan I Gusti Agung Ketut Jagi.

Ni Jero Sebitha dari desa Kedampal yang melahirkan I Gusti Agung Ayu Nyoman Gu.

I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Arsa di puri Kapal – Muncan, melahirkan tiga orang putera. Puteri yang pertama meninggal dunia waktu dilahirkan. Yang kedua bernama I Gusti Agung Gde Oka Puger, dan adiknya bernama I Gusti Agung Gde Rai Dira yang meninggal dunia waktu sedang meningkat remaja, karena jatuh dari pohon kayu dalam tahun 1924.

Ni Made Jero Patera dari Banjar Nyelati, yang berputera I Gusti Agung Nyoman Rai Cakra, I Gusti Agung Ayu Rai Wati dan I Gusti Agung Ayu Rai.

Sesudah I Gusti Agung Gde Jelantik Jumenek tempat purinya di Nyelati, maka mulailah beliau mengumpulkan orang-orang untuk bertempat tinggal di desa yang baru dibangun itu. Mereka ini kebanyakan orang-orang perarudan (pelarian) dari berbagai-bagai desa jajahan.

Kerajaan Mengwi, waktu Kerajaan ini diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Badung dalam tahun 1892. Akhirnya berhasil dikumpulkan + 75 rumah tangga (kuren). Kepada orang-orang itu dibagikan tanah pekarangan bersama telajakannya, masing-masing mendapat + 0,75 Hektare, dan demikian pula mereka diberi tanah pecatu, berupa sawah masing-masing seluas 25 a’ 30 are, di samping tanah rumput yang terletak di pinggir sungai-sungai.

Selama kerajaan Mengwi dipegang oleh Kerajaan Badung, dan demikian pula setelah pulau Bali di perintah oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1906, I Gusti Agung Gde Jelantik menjabat tugas perbekel desa Kuwum, dan kemudian merangkap menjadi pekaseh Subak Cangi. Beliau wafat dalam tahun 1947 bulan Mei dalan usia ± 90 tahun.

I Gusti Agung Rai Jelantik tinggal di puri Sembung-Danginan, beristerikan I Gusti Agung Ayu Rai Anom puteri dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan di Sembung, yang melahirkan dua orang putera, tetapi yang masih hidup hanya seorang saja, yaitu I Gusti Agung Gde Geger.

Berhubung putera beliau kepertama meninggal dunia beberapa waktu setelah dilahirkan, maka I Gusti Agung Rai Jelantik mendirikan pasraman di tanah tegal beliau, dimana putera beliau yang meninggal itu dibuatkan pusara dalam suatu bangunan disebelah tempat tidur beliau.

Baru setelah isteri beliau itu mendapat seorang putera lagi, beliau kembali kepuri beliau semula.

Kemudian beliau mengambil seorang isteri lagi, bernama I Gusti Ayu Oka, bangsa Wesya Tegehkori, tetapi dari istri beliau ini tidak diperoleh anak, demikianpun isterinya ini tidak antara berapa lama cerai dengan beliau.

I Gusti Agung Made Kaler bertempat tinggal di Kuwum dan beristeri tiga orang, yakni : Si luh Lacur dari desa Munduk Andong, yang berputera I Gusti Agung Putu Kaler dan I Gusti Agung Ayu Rai Kerinting. I Gusti Agung Ayu Ketut Rempang, puteri dari I Gusti Agung Putu Karang di Puri Karangenjung, yang berputra I Gusti Agung Made Oka Bacol, I Gusti Agung Ngurah Kaler dan I Gusti Agung Alit Sukeri.

I Gusti Ayu Ketut dari puri Perean, yang berputera I Gusti Agung Ayu Oka, dan dua orang anak perempuan kembar, tetapi yang terakhir kedua-duanya meninggal dunia waktu dilahirkan.

I Gusti Agung Made Geriya diangkat putera oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan di Puri Sembung.

I Gusti Agung Nyoman Kaler beristeri tiga orang yaitu Jero Nyoman Mimba dari desa Kuwum berputera seorang, bernama I Gusti Agung Ayu Putu Keredek.

I Gusti Agung Ayu Nyoman Racik, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Sengguan di puri Karangenjung, berputera I Gusti Agung Gde Raka, dan dua anak perempuan kembar, tatapi yang terakhir ini keduanya wafat waktu masih bayi, sedangkan ibunya wafat waktu melahirkan puteri kembar ini.

Ni Jero Made Tunjung, bangsa Sengguhu dan Umaabian, berputera dua orang yaitu I Gusti Agung Ayu Rai dan I Gusti Agung Ketut Adi.

Adapun I Gusti Agung Nyoman Kaler menjabat tugas Perbekel, menggantikan I Gusti Agung Gde Jelantik kakak beliau, dan setelah I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Sembung berhenti sebagai perbekel Sembung, maka I Gusti Agung Nyoman Kaler diangkat menjadi perbekel Sembung-Kuwum. Di samping itu beliau juga menjadi seorang dalang wayang-purwa, dan penari “tapel – pajegan”.

Sekarang marilah kita lanjutkan silsilah ini.

Ceriterakan sekarang keluarga yang tinggal di puri Karangenjung putera-putera dari I Gusti Agung Putu Dalem.

I Gusti Agung Made Oka beristeri tiga orang, yaitu : I Gusti Agung Ayu Rai Kerinting, puteri dari I Gusti Agung Made Kaler di puri Kuwum, yang berputera I Gusti Agung Ayu Raka Jigereg. Kemudian I Gusti Agung Ayu Rai Kerinting meningggalkan suaminya, kawin dengan seorang bangsa Wesya bernama Si Kompiang Bagia dari desa Karangenjung.

Isterinya kedua ialah Ni Jero Sumanasa dari desa Karangenjung yang berputera tiga orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Putu Rai wafat pada waktu sedang teruna-remaja sebagai pahlawan Pejuang Kemerdekaan melawan Belanda dalam tahun 1948. Arwah beliau dicandikan di Taman Kusuma Bangsa “MARGARANA'' di desa Kelaci Marga.

Adiknya bernama I Gusti Agung Nyoman Karang, dan yang seorang lagi bernama I Gusti Agung Ayu Ketut Geriya.

Ni Jero Tengguli dari desa Kuwum berputera I Gusti Agung Made Oka Wirya dan I Gusti Agung Ayu Nyoman Wiryani.

I Gusti Agung Rai Jelantik beristerikan I Gusti Agung Ayu Putu Gerudug, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Sengguan di Karangjung, yang berputera I Gusti Agung Ayu Nyoman Sungkerig dan I Gusti Agung Ayu Putu Sungkerug.

I Gusti Agung Putu Gde tertimpa penyakit mata hingga menjadi buta kedua belah mata beliau. Beliau beristerikan I Gusti Agung Ayu Ngurah, anak angkat dari I Gusti Agung Putu Kerebek di Jero Tegal, yang berputera I Gusti Agung Ketut Bagus, I Gusti Agung Ayu Rai Puteri, dan I Gusti Agung Ayu Nyoman Manik.

Adapun I Gusti Agung Putu Gde diangkat - sentana oleh mertua beliau I Gusti Agung Putu Kerebek, dan menetap tinggal di Jero Tegal Sari Karangenjung.

I Gusti Agung Made Putu beristeri tiga orang yaitu :

Ni Jero Terena dari Karangenjung tidak berputera.

I Gusti Agung Ayu Oka, puteri dari I Gusti Agung Made Kaler di Kuwum, juga tidak berputera. Kemudian isterinya ini kawin keluar dengan I Gusti Putu Pegug, keturunan Pemecutan dari desa Peguyangan Badung, yang waktu itu tahun 1940, nenjadi guru pada Sekolah Rakyat di Sembung.

Si Luh Putu Tengkerig, keturunan Wesya Bedulu di Karangenjung, yang berputera : I Gusti Agung Ayu Bintang, I Gusti Agung Ayu Rai Aryani, I Gusti Agung Nyoman Puja Astika, I Gusti Agung Ayu Ketut Ernawati dan I Gusti Agung Ayu Putu Raka dan I Gusti Agung Gde Suadnyana.

Sekarang marilah dilanjutkan menceriterakan keturunan I Gusti Agung Nyoman Sengguan di puri Karangjung.

I Gusti Agung Ngurah Karud mempunyai dua orang isteri, masing-masing bernama Ni Jero Prijata dari Karangjung dan Ni Jero Sebitha dari Banjar Nyelati, kedua-duanya tidak nalahirkan anak ; kemudian. kedua isterinya ini meninggalkan suaminya dan kawin keluar.

I Gusti Agung Made Alit beristeri dua orang yaitu Ni Jero Padma dari Banjar Pasekan Sembung yang tidak berputera dan I Gusti Agung Ayu Alit Sukeri, puteri dari I Gusti Agung Made Kaler dari Kuwum yang berputera I Gusti Agung Bagus Panyong, yang meninggal dunia waktu masih kanak2, I Gusti Agung Ayu Rai Rat, I Gusti Agung Ayu Nyoman, I Gusti Agung Ayu Ketut Payuk, I Gusti Agung Ayu Putu Kining, I Gusti Agung Ayu Raka, dan I Gusti Agung Bagus Sudana.

I Gusti Agung Ayu Putu Gerudug diambil isteri oleh I Gusti Agung Rai Jelantik di Karangjung

I Gusti Agung Made Cuk mempunyai isteri bernama Ni Jero Nyiri (meninggal tanggal 24 Oktober 1963) yang melahirkan (tujuh) orang anak (anak pertama dan kedua meninggal ketika masih bayi) yaitu I Gusti Agung Nyoman Manik, I Gusti Agung Ketut Rai (meninggal tanggal 19 Mei 1963), I Gusti Agung Putu Mayun Sudartha, I Gusti Agung Made Rai Jelantik dan I Gusti Agung Rai Alit Widana.

I Gusti Agung Rai Cek beristeri I Gusti Ayu Rai Kembar, Wesya Tegeh Kori ; berputera hanya, seorang bernama I Gusti Agung Putu Oka. I Gusti Agung Ayu Nyoman Ricik diambil isteri oleh I Gusti Agung Nyoman Kaler di puri Kuwum.

I Gusti Agung Ketut Cok sampai berusia tua tidak beristeri. Sekarang dilanjutkan dengan menceriterakan putera-puterinya I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati :

I Gusti Agung Ayu Putu Gerodog kawin dengan I Gusti Agung Putu Kaler anak dari I Gusti Agung Made Kaler di puri Kuwum.

I Gusti Agung Made Jago mengambil isteri Jero Made Resija dari Banjar Tahuman Sembung yang melahirkan I Gusti Agung Putu Keteg dan I Gusti Agung Made Ketug.

I Gusti Agung Ayu Nyoman Gu diambil isteri oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha di Puri Sembung, putera dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan.

I Gusti Agung Ketut Jagi beristeri dua orang, yang pertama bernama Jero Resiki, yang melahirkan dua orang anak, yang pertama perempuan dan meninggal dunia waktu baru dilahirkan, dan yang kedua bernama I Gusti Agung Made Raka Repeg.

Isteri yang kedua bernama I Gusti Agung Ayu Putu Keredek, puteri dari I Gusti Agung Nyonan Kaler di Puri Kuwum yang rnelahirkan seorang putera bernama I Gusti Agung Bagus Oka.

I Gusti Agung Gde Oka Puger beristeri I Gusti Agung Ayu Alit puteri dari I Gusti Agung Putu Oka di puri Sembung dan diangkat anak oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha, yang melahirkan putera-puteri :

I Gusti Agung Ayu Mas, I Gusti Agung Bagus Tirtayasa, I Gusti Agung Ayu Rai Bintang, I Gusti Agung Ngurah Gde Mertanegara, I Gusti Agung Gde Oka Putera, I Gusti Agung Gde Rai Udayana, I Gusti Agung Bagus Arthanegara, I Gusti Agung Bagus Krishnahari, I Gusti Agung Gde Raka, I Gusti Agung Ayu Inten Sasteri dan I Gusti Agung Bagus Adnyanegara.

Adapun I Gusti Agung Gde Oka Puger adalah salah seorang anggota Swa Wandawa Sembung-Karangenjung yang pertama sekali dapat meneruskan pelajaran sekolah, dari Sokalah Hollands Inlandse School - Sekolah Rakyat berbahasa Belanda waktu itu, hingga Sekolah M.U.L.O. (Meer Uitgebreid Lagero Opleiding) dengan mendapat ijazah, Setelah dapat meluluskan pelajaran sekolah itu, beliau diterima menjadi pegawai, mula-mula pada perusahaan dagang Belanda, N.V.v/h J.F. Esser selama tujuh bulan dan kemudian pindah dalam jabatan Pemerintah Hindia Belanda, Pemerintah Pendudukan Jepang, Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian diambil oper oleh Pemerintah Dewan Raja - Raja di Bali yang merupakan Gabungan dari kedelapan Selfbestuurder di Bali. Kemudian setelah Selfbestuur-selfbestuur di Bali dihapuskan dan dibentuk Pemerintah Daerah Bali di bawah seorang Kepala Daerah, begitupun setelah beberapa waktu kemudian dibentuk Propinsi Bali ; beliau terus bekerja pada Pemerintah-pemerintah tersebut, sehingga akhirnya mulai tanggal 1 Januari 1967 beliau dalam pangkat Pegawai Tinggi Ketataperajaan - setingkat dengan pangkat Bupati-Kepala Daerah - diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Pemerintah dan diberikan hak pensiun menurut peraturan-peraturan yang berlaku.

I Gusti Agung Nyoman Rai Cakra baristri tiga orang, yaitu I Gusti Ayu Ketut Swati dari Jero Taman-Marga, yang berputera : I Gusti Agung Ayu Sasih, I Gusti Agung Ayu Rai Aryani, I Gusti Agung Ayu Ketut Sukartini dan I Gusti Agung Ngurah Kusuma.

Ni Jero Somacita, berputera I Gusti Agung Ayu Nyoman Adnyani, I Gusti Agung Ayu Sumarsih dan I Gusti Agung Bagus Wina. .

Dayu Nyoman dari Sangeh, yang berputera seorang laki-laki, tetapi meninggal waktu nasih kanak-kanak/bayi.

Adapun I Gusti Agung Nyoman Rai Cakra adalah seorang ahli seni-tari baris, topeng (parembon), tapel pajegan, dan istimewa tari arja. Diberbagai-bagai tempat di Bali, seperti Geluntung (Marga), Tuka, Luwus, Gulingan (Mengwi), Tegalsahat (Kapal), bahkan sampai di Sukasada (Buleleng), beliau pernah mengajarkan menari dengan berhasil. Di samping itu beliau juga mempunyai keahlian tentang peraturan sabungan ayam, sehingga kerap kali diundang untuk menjadi ''saya'' pada sabungan ayam di berbagai tempat.

Adapun I Gusti Agung Ayu Ketut Wati kawin dengan I Gusti Agung Gde Raka, putera dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di puri Kuwum. Beliau berijazah : MLS Bogor.

I Gusti Agung Ayu Rai diambil isteri oleh I Gusti Agung Ketut Adi, juga putera dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di Kuwum.

Sekarang disambung menceriterakan putera-putranya I Gusti Agung Rai di puri Danginan Sembung, yang bernama I Gusti Agung Gde Geger ; Beliau mempunyai dua orang isteri, yang pertama bernama Ni Sapereg dari Banjar Nyelati, tetapi tidak beberapa lama isterinya ini, yang tidak berputera, dicerai, Kemudian beliau mengambil Ni Jero Terang Arsa dari Banjar Tahuman Sembung, yang berputera lima orang, masing-masing bernama I Gusti Agung Made Oka Sudiartha, I Gusti Agung Nyoman Raka Sudiarsa, I Gusti Agung Ketut Adnyana, I Gusti Agung Ayu Rai Sukerti dan I Gusti Agung Made Pusaka.

Oleh karena I Gusti Agung Gde Geger wafat sewaktu putera-puteranya masih kecil, dan isterinya kawin keluar, maka terpaksa Perkumpulan Swa-Wandhawa bertindak menjadi wali, dan putera-puteranya itu diserahkan untuk diajak dan diperhatikan pendidikannya, masing-masing sebagai berikut : I Gusti Agung Made Oka Sudiartha diajak oleh I Gusti Agung Gde Raka, I Gusti Agung Nyoman Raka Sudiarsa oleh I Gusti Agung Ketut Putera.

I Gusti Agung Ketut Adnyana oleh I Gusti Agung Nyoman Kaler di Kuwum, I Gusti Agung Ayu Rai Sukerti oleh I Gusti Agung Gde Raka Arsana di Sembung dan I Gusti Agung Made Pusaka oleh I Gusti Agung Bagus Oka di Kuwum.

Sekarang diteruskan dengan putera-puteranya I Gusti Made Kaler di Kuwum.

I Gusti Agung Putu Kaler beristerikan I Gusti Agung Ayu Putu Gerodog, puteri dari I Gusti Agung Gde jelantik, yang berputera dua orang ; yang sulung wafat waktu dilahirkan dan puteranya yang kedua bernama I Gusti Agung Made Raka Pugeg. Selanjutnya beliau memperisterikan Jero Nyoman Resiki isteri dari I Gusti Agung Ketut Jagi di Nyelati yang tidak mendapat putera, dan isteri beliau yang ketiga ialah Ni Jero Made Patera, bekas isteri dari I Gusti Agung Gd Jelantik di puri Nyelati, yang juga tidak mendapat anak dalam perkawinannya.

I Gusti Agung Ayu Kerinting diambil isteri oleh I Gusti Agung Made Oka di Puri Karangenjung.

I Gusti Agung Made Oka Bacol beristeri tiga orang, yang pertama bernama I Gusti Ayu Ketut Rempuh turunan Pering dari Umabiyan, yang melahirkan seorang putera peria, tetapi wafat semasih kecil.

Karena isterinya ini wafat, maka diambil sebagai isteri Ni Jero Naya dari Kuwum, yang tidak mendapat anak. Isterinya ini kawin keluar dan diambil seorang isteri lagi, yaitu I Gusti Ayu Oka Kembar, bekas isterinya I Gusti Agung Putu Rai jelantik di puri Sembung yang melahirkan tiga orang anak prempuan berturut-turut bernama I Gusti Agung Ayu Raka, I Gusti Agung Ayu Rai Aryani dan I Gusti Agung Ayu Ketut Adnyawati.

I Gusti Agung Ngurah Kaler beristeri I Gusti Agung Ayu Raka Kereped, puteri dari I Gusti Agung Made Geriya di Sembung, yang berputera I Gusti Agung Ayu Alit. Puteranya yang ke-4, seorang puteri wafat waktu masih kecil, sedangkan puteranya yang ketiga dan selanjutnya berturut-turut bernama I Gusti Agung Ayu Rai, I Gusti Agung Nyoman Adiasa, I Gusti Agung Gde Oka Wardhana, I Gusti Agung Ayu Mirah, I Gusti Agung Bagus Wirya, dan I Gusti Agung Gde Sudana.

Adapun I Gusti Agung Ngurah Kaler semasa hidupnya pernah menjadi Pekaseh subak Cangi, menggantikan mertua beliau I Gusti Agung Made Geriya dan kemudian beliau menjadi kelian Desa Kuwum sampai wafatnya pada tanggal 28 Desember 1967.

I Gusti Agung Ayu Alit Sukeri bersuami dengan I Gusti Agung Made Alit, putera dari I Gusti Agung Nyoman Sengguan di Karangenjung.

I Gusti Agung Ayu Oka diambil isteri oleh I Gusti Agung Made Putu, putera dari I Gusti Agung Putu Dalem di Karangjung, tetapi tidak lama kemudian kawin keluar dengan I Gusti Putu Pegug, keturunan Pemecutan dari peguyangan Kesiman yang pada masa itu menjadi guru pada sekolah dasar di Sembung.

Demikian, maka tersebutlah putera-putera dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di Puri Kuwum.

I Gusti Agung Putu Keredek bersuami dengan I Gusti Agung Ketut jagi, putera dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati. Sesudah wafatnya I Gusti Agung Ketut Jagi, beliau kawin lagi dengan I Gusti Agung Made Rai, putera dari I Gusti Agung Putu Oka dan anak angkat dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di puri Sembung.

I Gusti Agung Gde Raka beristeri I Gusti Agung Ayu Ketut Wati, puteri dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyelati yang berputera I Gusti Agung Bagus Puspanegara, I Gusti Agung Made Pujanegara, I Gusti Agung Ngurah Suryanegara, I Gusti Agung Gde Adnyanegara yang meninggal waktu masih kanak-kanak, I Gusti Agung Ayu Utari Rakawati, dan I Gusti Agung Ayu Mas Wiratih.

Adapun I Gusti Agung Gde Raka adalah warga ketiga dari Swa Wandhawa Sembung Karangenjung yang dapat melanjutkan pelajarannya di luar Pulau Bali, sampai sekolah Middlebare Landbouw School di Bogor, dan kemudian bekerja di berbagai-bagai Jabatan Pemerintah, mula-mula dalam dinas pertanian, kemudian pindah dalam dinas Kooperasi dan selanjutnya dalam dinas Perguruan Tinggi sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Udayana di Denpasar.

I Gusti Agung Ayu Rai disambil isteri oleh I Gusti Agung Ketut Putera, putera dari I Gusti Agung Made Geriya, yang diangkat anak oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Puri Sembung.

I Gusti Agung Ketut Adi beristerikan I Gusti Agung Ayu Rai, puteri dari I Gusti Agung Gde Jelantik di Puri Nyalati. I Gusti Agung Ketut Adi yang mula-mula tamat pada sekolah Rakyat saja, setelah bekerja pada Kantor Inspeksi Pendidikan Jasmani di Denpasar, berhasil menempuh berbargai kursus aplikasi dan akhirnya dapat memperoleh Ijazah Akademi Administrasi Negara (AAN). Putera-puteranya adalah : I Gusti Agung Gde Oka Adhita, I Gusti Agung Gde Rai, I Gusti Agung Ayu Nilawati, I Gusti Agung Bagus Adiwijaya, I Gusti Agung Ayu Sundari, I Gusti Agung Ngurah Dharmayuda, I Gusti Agung Ayu Yuliadi.

Sekarang diteruskan dengan keturunan I Gusti Agung Made Geriya di Sembung.

I Gusti Agung Ayu Raka Kereped bersuami dengan I Gusti Agung Ngurah Kaler di Kuwum.

I Gusti Agung Nyoman Raka beristerikan I Gusti Agung Ayu Oka, puteri dari I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Puri Sembung, yang berputera : I Gusti Agung Ngurah Susanta, I Gusti Agung Ngurah Supartha, I Gusti Agung Ngurah Sutama, I Gusti Agung Ngurah Sumertha, I Gusti Agung Ngurah Wijaya, I Gusti Agung Ayu wiryanti, I Gusti Agung Ngurah Wardana, I Gusti Agung Ngurah Wisuda, I Gusti Agung Ayu Widiasih. I Gusti Agung Nyoman Raka adalah warga Swa wandhawa yang keempat yang meneruskan pelajarannya keluar pulau Bali, yaitu sampai sekolah Pendidikan Jasmani di Jakarta dan kemudian menjadi guru Pendidikan Jasmani di berbagai sekolah lanjutan, dan setelah itu menjadi pegawai atas pada Dinas Pendidikan Jasmani Daerah Bali di Denpasar.

I Gusti Agung Ketut Putra kawin dengan I Gusti Agung Ayu Rai, puteri dari I Gusti Agung Nyoman Kaler di Puri Kuwum. Setelah menamatkan pelajarannya pada sekolah Taman Dewasa pada Perguruan Taman Siswa maka I Gusti Agung Ketut Putera bekerja di Kantor Kuangan Daerah Bali, dan dalam bertugas itu kepadanya diberi kesempatan mengikuti beberapa kursus yang bersangkutan dengan pekerjaannya itu, dengan mencapai hasil yang memuaskan.

I Gusti Agung Ayu Manik diambil istri oleh I Gusti Agung Gede Jelantik, putera dari I Gusti Agung Nyoman Kutha di puri Sembung.

I Gusti Agung Made Jelantik Susila kawin dengan I Gusti Agung Ayu Bintang, putri dari I Gusti Agung Gede Oka Puger di Puri Nyelati yang berputera : I Gusti Agung Ayu Rai Yanti, I Gusti Agung Bagus Shiladarma dan I Gusti Agung Ayu Mas Shilawati. Adapun I Gusti Agung Made Jelantik Sushila adalah warga Swa Wandhawa yang pertama yang mencapai gelar B.E. (Bachelor of Engineering) pada Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Kemudian beliau menjabat berbagai-bagai pangkat pada Jawatan pekerjaan umum.

Sekarang dilanjutkan menceritakan keturunan I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata di Puri Sembung.

I Gusti Agung Ayu Oka diambil isteri oleh I Gusti Agung Nyoman Raka, putera dari I Gusti Agung Made Geriya di Sembung.

I Gusti Agung Gde Raka Arsana mengambil isteri I Gusti Agung Ayu Raka, puteri dari I Gusti Agung Made Oka Ketug di Karangenjung , yang berputera : I Gusti Agung Ayu Mas Widiastuti, I Gusti Agung Ayu Mirah Widiastuti, I Gusti Agung Ayu Inten Widiastari, I Gusti Agung Ayu Manik Purnamawati dan I Gusti Agung Gde Bagus Satria Wibawa.

I Gusti Agung Ngurah Ardana Kawin dengan Ni Gusti Ayu Alit, Keturunan Gajahpara dari Sempidi, yang berputera : I Gusti Agung Oka Antari, I Gusti Agung Bagus Kusumayadi, I Gusti Agung Gde Rai Yudiantara, I Gusti Agung Ayu Alit Ardiani, I Gusti Agung Ayu Mas Yuniari, I Gusti Agung Ayu Mirah Yuniawati.

Sekarang dengarkanlah tentang keturunan I Gusti Agung Putu Oka di Puri Sembung.

I Gusti Agung Ayu Alit, yang diangkat anak oleh I Gusti Agung Nyoman Kutha, diambil isteri oleh I Gusti Agung Gde Oka Puger di Puri Nyelati.

I Gusti Agung Made Rai, yang diangkat anak oleh I Gusti Agung Putu Gde Kengetan Berata, kawin dengan I Gusti Agung Ayu Putu Keredek, janda dari I Gusti Agung Ketut Jagi di Puri Nyelati. Beliau tidak mendapat putera dari perkawinan itu.

Dilanjutkan sekarang dengan putera-putera I Gusti Agung Ngurah Gde Geriya.

I Gusti Agung Ayu Raka diambil isteri oleh seorang Bangsa Brahmana dari desa Beha.

I Gusti Agung Made Gde beristerikan I Gusti Agung Ayu Rai, dari desa Sigaran, yang berputera seorang anak lelaki, bernama I Gusti Agung Gde Suwarka.

Tidak berapa lama isterinya tersebut meninggalkan suaminya, dan kawin keluar dengan seorang suku Jawa. Setelah itu I Gusti Agung Made Gde kawin lagi dengan I Gusti Agung ayu Oka, kakak dari I Gusti Agung Ayu Rai di depan, dan berputera I Gusti Agung Ayu Rai, I Gusti Agung Ayu Nyoman Sukaseni, I Gusti Agung Ayu Ketut Sasih, I Gusti Agung Putu Gde Karya, I Gusti Agung Ayu Adiani.

I Gusti Agung Ayu Nyoman Adi Kawin dengan orang jaba dari Serangan.

I Gusti Agung Ayu Galuh diambil isteri oleh seorang bangsa Brahmana dari Abiansemal.

I Gusti Agung Ayu Rai diambil isteri oleh seorang jaba dari Banjar Blangpande Sembung.

Dari perkembangan keturunan beliau yang di Sembung dan Karangenjung begitu pesat dan menyebar tersebut maka para generasi penerus yang kini menetap di desa Sembung. Karangjung, Nyelati dan Kuwum, muncul semangat, pentingnya mempersatukan diri dalam suatu wadah keluarga besar yang berada dalam satu jenis keturunan, satu kawitan, dan satu pedarman.

Pada tanggal 25 Agustus 1957 dengan betempat di Rumah kediaman I Gusti Gede Oka Puger di Jalan Rambutan No. 11 Denpasar dilangsungkanlah pertemuan yang dihadiri oleh 11 orang tokoh-tokoh Puri yang ada di Sembung, Karangjung, Nyelati desa Kuwum. Kesebelas orang tersebut adalah:

1. I Gusti Gede Oka Puger

2. I Gusti Gede Raka

3. I Gusti Ngurah Kaler

4. I Gusti Mede Putu

5. I Gusti Made Alit

6. I Gusti Nyoman Raka

7. I Gusti Ketut Putra

8. I Gusti Ketut Adhi

9. I Gusti Nugrah Rai Ardhana

10. I Gusti Mede Ketug

11. I Gusti Ketut Bagus

Dalam pertemuan tersebut dibahas tentang keinginan membentuk ikatan keluarga dan sekaligus membahas konsep anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang telah di simpulkan oleh I Gusti Gede Oka Puger. Setelah melalui seleksi dan debat panjang maka didapat kesepakatan dalam pertemuan tersebut antara lain:

1. Bahwa pembentukan ikatan keluarga mutlak pula

2. Adapun asas dasar dan tujuan perkumpulan adalah :

2. 1 Mempererat hubungan dan saling pengertian di antara keluarga.

2. 2 Menanamkan rasa seketurunan yang erat dan memperdalam serta mempertinggi kepatuhan dan rasa tanggung jawab di lingkungan sanak keluarga.

2. 3 Memelihara pusaka-pusaka dan bangunan-bangunan keagamaan yang diwariskan oleh leluhur.

2. 4 Mempertinggi budi pekerti sanak keluarga, guna menjadi menusia susila dan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.

2. 5 Membantu secara moral maupun material dalam batas-batas kemampuan perkumpulan kepada sanak keluarga yang memerlukan bantuan dan menindak terhadap anggota keluarga yang melanggar norma-norma keluarga.

3. Guna mempersiapkan dan melaksanakan pembentukan ikatan keluarga ini, dibentuk satu panitia yang diketuai oleh I Gusti Gede Oka Puger dan sebagai sekretaris I Gusti Ketut Adhi.

4. Ditetapkan pula bahwa pertemuan seluruh anggota keluarga adalah tanggal 15 September 1957 bertempat di Jero Gede Karangenjung.

Demikianlah tepat tanggal 15 September 1957 dengan dihadiri 33 kepala keluarga keturunan I Gusti Agung Ayu Suci, I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Agung Gede Jelantik) yang memerintah di Kengetan dan Katik Lantang dan kini menetap di Sembung Karangenjung Nyelati dan Kuwum, dideklarasikan sebuah ikatan keluarga yang diberi nama “Pasemetonan Swa Wandawa Sembung-Karangenjung”.

Pada saat pendeklarasian tersebut untuk pertama kalinya ditetepkan susunan pengurus sebagai berikut:

Ketua : I Gusti Gede Oka Puger

Wakil Ketua : I Gusti Gede Raka

Penulis I : I Gusti Ketut Adhi

Penulis II : I Gusti Ketut Bagus

Bendahara : I Gusti Ketut Putra.

Komisaris-komisaris:

- Untuk Denpasar : I Gusti Nyoman Raka

- Untuk Sembung : I Gusti Gede Jelantik

- Untuk Kuwum : I Gusti Ngurah Kaler

Sedangkan anggota-anggota Swa Wandawa pada saat terbentuk tanggal 15 September 1957 (sebanyak 33 kepala keluarga) adalah:

I Gusti Made Geria; I Gusti Nyoman Kaler; I Gusti Ayu Nyoman Gu; I Gusti Ayu Biang Putra; I Gusti Ngurah Gede; I Gusti Rai Jelantik; I Gusti Made Cuk; I Gusti Putu Gede; I Gusti Made Putu; I Gusti Made Alit; I Gusti Gede Oka Puger; I Gusti Ngurah Kaler; I Gusti Ayu Putu; I Gusti Gede Raka; I Gusti Nyoman Cakra; I Gusti Nyoman Raka; I Gusti Ketut Putra; I Gusti Ketut Adhi; I Gusti Gede Jelantik; I Gusti Made Jelantik Sushila; I Gusti Made Gede; I Gusti Made Raka Pugeg; I Gusti Ayu Raka; I Gusti Putu Keteg; I Gusti Made Ketug; I Gusti Made Raka Rapeg; I Gusti Bagus Oka; I Gusti Nyoman Karang; I Gusti Ketut Bagus; I Gusti Putu Oka; I Gusti Nyoman Manik; Sayu Biang Oka dan Jro Nyoman Arsa.